Kamis, 17 Maret 2011

Dasar-Dasar Logika ( Sejarah di Indonesia)


Logika merupakan cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan “jembatan penghubung” antara filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.
Logika Aristoteles mempunyai pengaruh sangat besar dalam sejarah intelektual umat manusia. Buku-buku pegangan tentang logika -- tradisional-- sebagian besar diisi dengan logika ini, dan tidak ada satupun jenis pengetahuan yang tidak bersentuhan logika yang ditemukan Aristoteles ini, sehingga Immanuel Kant (1724-1804 M) pernah menyatakan bahwa selama 20 abad lebih, logika Aristoteles tidak tergoyahkan dan ia tetap menjadi tonggak dan pondasi pengetahuan ilmiah manusia.1
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab.  Sebagian kaum intelektual sangat menyadari kebutuhan mendesak akan meratanya kesanggupan berpikir tertib-kritis seperti yang diajarkan dalam logika sebagai salah satu syarat mutlak terwujudnya Indonesia modern. Studi dan penguasaan logika dipandang sebagai sokoguru pendidikan intelektual, yang merupakan hal asasi dari pendidikan manusia seutuhnya. Karena logika tidak berasal dari Indonesia, maka banyak kalangan yang menolak ilmu logika. Logika dipandang tidak sesuai dengan adat ketimuran Indonesia. Analisis kritis dianggap tidak sesuai apabila diterapkan pada adat yang halus khas orang timur. Bahkan logika sperti dilarang untuk diajarkan pada sekolah atau pesantren.

Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.
            Indonesia memulainya dengan ‘memusuhi’ logika. Sebelum masuknya agama-agama dari negeri sebrang ke Indonesia, bisa dikatakan tanah air ini hanya memiliki dua kepercayaan, yaitu animisme dan dinamisme. Sehingga hal-hal yang bersifat mistik dan irasional begitu melekat dengan Indonesia. Hal ini masih terasa hingga sekarang, masih banyak orang-orang yang suka main ‘babi ngepet’ daripada bekerja keras untuk menjadi kaya. Itu adalah salah satu dari ribuan contoh betapa tidak logisnya orang Indonesia.

Oleh Karena itu kebanyakan orang Indonesia menolak logika, karena logika bertentangan dengan budaya. Logika juga dapat merusak budaya timur mereka yang dikenal memiliki perasaan halus khas orang timur. Mereka tidak menyadari bahwa budaya adalah ciptaan manusia juga, ada yang baik dan ada yang buruk. Tentu saja kita sebagai manusia (yang katanya) berakal sehat, harus mampu memilah-milah apa yang diajarkan budaya.
Dewasa ini, perkembangan logika di Indonesia sudah membaik walaupun hanya yang bersifat formal. Orang-orang mulai menjalani hidupnya dengan berpegang pada dua hal, yaitu agama dan logika. Berbeda dengan budaya yang ciptaan manusia, agama adalah ciptaan Tuhan yang sempurna. Tuhan tidak mungkin berbuat kesalahan seperti ciptaannya.
Tetapi perkembangan logika formal ini tidak diikuti oleh pengembangan logika oleh sector-sektor yang lain. Saya mengambil contoh media massa, karena media sangat mempengaruhi pola pikir bahkan pola tingkah laku publiknya. Tidak banyak acara di media massa yang mampu menghibur sekaligus memberikan edukasi plus merangsang rasionalitas seseorang. Mereka malah terus-terusan membuat acara mistik yang jelas-jelas merusak moral (khususnya anak-anak) dan merusak tatanan logika seseorang.  Seharusnya pemerintah tegas dalam menindak acara-acara media massa yang merusak logika. Karena tanpa logika, sama saja pemerintah tidak ikut mendukung cita-cita bangsa yaitu “mencerdaskan kehidupan berbangsa”.
Semoga melek pengetahuan semakin meluas dan merata di Indonesia serta kita dapat melihat kebutuhan akan pendalaman dan penguasaan logika sebagai salah satu tuntutan yang asasi untuk mencerdaskan bangsa dan memanusiakan manusia yang menjadi tujuan seluruh kegiatan pembangunan di Indonesia.

*dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar