Masa Orientasi dan Pengenalan Kampus (Ospek), rutin dilaksanakan oleh hampir perguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan itulah yang pada semester ganjil tahun 2009 ini juga dilakukan ribuan mahasiswa baru dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Hajatan kampus untuk penyambutan mahasiswa baru di perguruan tinggi tersebut tentunya sudah dipersiapkan dengan matang dan terencana, mulai dari pembentukan panitia, perampungan konsep acara, hingga persiapan logistik. Pada hari pelaksanaan, acara yang seharusnya berjalan lancar tanpa hambatan ternyata rundown- nya molor hingga berjam-jam. Molornya rundown itu dikarenakan daya tampung masjid yang sangat sedikit untuk ukuran sebuah perguruan tinggi negeri terkenal.
Kejadian itu hanyalah contoh kecil dimana sebuah perguruan tinggi belum memiliki fasilitas penunjang kegiatan yang memadai. Sebagai sebuah institusi yang memegang peranan penting untu mencetak calon pemimpin bangsa, sebuah perguruan tinggi seharusnya memiliki daya dukung terhadap perkuliahan dan kegiatan kampus. Institusi pendidikan selayaknya memiliki rancangan yang berlandaskan pada apa yang menjadi kebutuhan pada segala tantangan zaman. Oleh sebab itu, perguruan tinggi sebagai salah satu pelaku pengembang ilmu pengetahuan manusia mestinya telah siap untuk menghadapi segala tantangan yang ada di depan mata terlepas dari kebutuhan pasar global. Sehingga kelak dapat benar-benar mewujudkan fungsinya. Karena sebenarnya kualitas mahasiswa salah satunya ditentukan oleh fasilitas yang dimiliki kampus bersangkutan..
Memang tidak dapat dipungkiri untuk membuat fasilitas yang ideal memerlukan dana yang sangat besar. Namun, jika bercermin dari besarnya biaya kuliah di masa sekarang, fasilitas yang diperuntukkan untuk mahasiswa semestinya juga semakin meningkat. Sungguh ironis jika ingin menjadikan perguruan tinggi ideal, tetapi dengan fasilitas kelas dua.
Satu sisi dunia pendidikan perguruan tinggi di Indonesia saat ini seakan berlomba-lomba mempersiapkan kampusnya untuk dikembangkan menjadi ‘Universitas Kelas Dunia’ (World Class University). Program itu sebenarnya telah dirancang oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak Januari 2006 dengan menetapkan 10 perguruan tinggi sebagai pionir. Ambisi positif itu seperti memberikan jawaban menghadapi persaingan global di dunia pendidikan. Mungkin sederet perguruan tinggi tersebut ingin setara dengan Harvard University atau setidaknya National University of Singapore yang berdiri di jajaran elite universitas top sejagad. Padahal realitasnya secara penilaian berbagai sektor untuk menjadikan sebuah perguruan tinggi bertaraf dunia, Indonesia jelas masih kalah jauh. Khususnya di sektor fasilitas sebagai faktor pendukung utama. Perguruan tinggi di Indonesia mungkin tidak ada yang memiliki lapangan terbang, hotel, televisi, gedung riset dan penelitian dengan teknologi tinggi, dan sarana olahraga bertaraf olimpiade, seperti halnya Oxford University.
Mungkin kita tidak perlu melihat terlalu jauh untuk mewujudkan fasilitas mewah layaknya Oxford University. Contoh yang mendasar saja, di Universitas Padjadjaran (Unpad) masih ada perkuliahan yang diikuti oleh 100 bahkan 200 mahasiswa dalam satu kelas. Jelas hal itu sangat mengganggu dalam keefektifan belajar. Dengan kasus ini, harus diakui bahwa bagi Unpad untuk menjadi sebuah perguruan tinggi ideal bertaraf dunia masih diperlukan banyak sekali perbaikan dan langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk mewujudkannya. Tentunya kekurangan ini masih bisa diperbaiki mengingat target Unpad sebagai perguruan tinggi bertaraf adalah adalah tahun 2025. Wacana ini harus menjadi tonggak penyemangat bagi seluruh akademisi Unpad untuk mewujudkan target jangka panjang tersebut. Dalam penyambutan mahasiswa baru semester ganjil 2008, Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia. DEA, Rektor Unpad menyatakan, “Unpad masih sangat butuh perbaikan demi menjadi World Class University, untuk mewujudkannya dari segi fasilitas diperlukan biaya SPP sekitar 30 juta rupiah per mahasiswa setiap semesternya.” Menanggapi pernyataan beliau, mungkin ini yang harus dikritisi bahwa peningkatan fasilitas tidak harus selalu dibebankan kepada mahasiswa.
Fasilitas kampus yang ideal adalah hal yang sangat kompleks. Sangat banyak ukuran untuk menyulapnya menjadi nyata. Sektor-sektor yang dilihat di era modern ini misalnya dari teknologi. Di Institut Teknologi Bandung (ITB) saja yang merupakan institut bidang teknologi terbaik di negeri ini belum sepenuhnya menggunakan teknologi sebagai penunjang perkuliahan. Mahasiswa yang akan melihat nilai ujian masih banyak yang melakukan cara-cara manual seperti melihat draft nilai di dinding bahkan bertanya langsung ke dosen. Padahal sebaiknya untuk efisiensi, mahasiswa bisa melihat nilai ujian secara on-line. Bukan hanya itu, salah satu kriteria perguruan tinggi ideal, seperti keharusan memiliki Information Communication Technology (ICT) 10 KB per mahasiswa, belum sepenuhnya terwujud.
Dari opini lain, Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono,MS., Pembantu Rektor I Institut Pertanian Bogor (IPB) menyatakan, “Perguruan tinggi ideal bertaraf internasional harus mempunyai lahan pendidikan yang luas, lalu semua fasilitas penunjang pendidikan seperti gedung kuliah, gedung laboratorium, gedung penelitian, gedung perpustakaan, gedung asrama mahasiswa, dan sarana penunjang perkuliahan lainnya yang semestinya terletak dalam satu lokasi.” Jika merujuk dari pernyataan Prof. Yonny, jelas sangat bertolak belakang dengan kenyataan banyak perguruan tinggi di tanah air. Masih banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta yang tidak memiliki konsentrasi wilayah. Di Universitas Indonesia (UI) sekalipun, semua kegiatan kampus dan fakultasnya belum sepenuhnya terkonsentrasikan dalam satu wilayah. Hal yang sama juga terjadi di Universitas Padjadjaran. Kontan tidak terkonsentrasikannya lokasi dan kegiatan kampus banyak mengakibatkan sulitnya mahasiswa untuk mengurus administrasi perkuliahan dan juga menghambat mobilitas mahasiswa untuk mengembangkan kreativitasnya dalam berkarya.
Tata kelola perguruan tinggi memang tidak sekadar membahas perihal fasilitas, masih banyak yang harus dipikirkan untuk menjadikannya ideal, seperti pelembagaan nilai-nilai keunggulan, peningkatan produk-produk perguruan tinggi, jumlah mahasiswa asing mencapai 20%, mempunyai Information Communication Technology (ICT), riset-riset yang berkualitas dengan bertujuan membentuk pembelajaran yang berbasis riset. Namun, sekali lagi yang perlu diingat segala bentuk elemen penting penunjang perguruan tinggi tersebut akan sangat sulit tercipta apabila tidak disokong oleh fasilitas sebagai komponen penting perguruan tinggi ideal bertaraf dunia.
Lima langkah awal yang seharusnya dijalankan oleh perguan tinggi sebagai solusi dari semua permasalahan ialah, pertama mencari dana yang cukup untuk membiayai seluruh keperluan operasional dan pengembangan fasilitas. Kedua, pembangunan gedung perpustakaan yang modern, lengkap, nyaman, dan penuh dengan fasilitas kemudahan, yang dikelola oleh tenaga terdidik dan terlatih, karena perpustakaan adalah jantung pendidikan. Ketiga, membangun sistem teknologi informasi yang canggih agar memudahkan mahasiswa dalam melakukan kegiatan akademik maupun non akademik. Keempat, membangun institusi-institusi penelitian yang kuat dan menggalakan para dosen untuk melakukan riset penelitian dan penulisan. Kelima, membangun sarana penunjang unit kegiatan mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar