Rabu, 23 Maret 2011

Studi Media - Analisis Komodifikasi dan Masifikasi di Layar Kaca

Ananalisis Film Ada Apa Dengan Cinta dikaitkan dengan Komodifikasi dan Masifikasi di Layar Kaca
Seperti berjelaga jika ’ku sendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh!
Apa yang terbayang dalam benak Anda ketika membaca kata-kata diatas ? Jika Anda adalah orang yang mengikuti perkembangan zaman, khususnya dalam bidang media film pada periode 2000-an awal maka yang akan terbayang adalah seorang gadis cantik yang sedang duduk si sebuah kafe romantis di hadapan seorang lelaki cool. Ya, itu adalah sebuah adegan di film Ada Apa Dengan Cinta ? Sebuah film fenomenal yang seakan merubah gaya hidup anak muda saat itu bahkan lebih lagi film Ada Apa Dengan Cinta ? juga kuat mengubah gaya hidup dan industri film di Indonesia bertahun-tahun setelah film tersebut tayang.
Film Ada Apa Dengan Cinta ? memang  bagus bagi bangkitnya perkembangan industri perfilman di Indonesia. Setelah film tersebut banyak film diproduksi yang baik secara kuantitas dan cukup secara kualitas. Alur cerita yang kuat tidak dipungkiri menjadi nilai yang paling menonjol dari film ini. Sebuah alur cerita yang sebenanya sederhana namun penuh dengan konflik dapat menghidupkan film tersebut. Selain itu setting tempat yang lekat dengan anak muda seperti sekolah SMA, Lapangan Basket, Perpustakaan, Kafe juga menjadi kekuatan dalam hal kesamaan pengalam dari penontonnya yang disominasi oleh remaja.
Hal yang menonjol lain dalam film Ada Apa Dengan Cinta ?  adalah penokohan dari masing-masing pemeran. Tokoh Cinta yang bernampilan cantik dam menatrik seakan menjadi role model trend remaja putri saat itu. Tokoh Rangga yang pembawaannya yang cool, smart, misterius dan juga didukung wajah tampan menjadi ‘patokan’ remaja putri dalam mencari pria idamannya.  Dan setelah film tersebut banyak produksi-produksi film yang secara garis besar serupa dengan apa yang ada dalam film Ada Apa dengan Cinta. Secara langsung dan tidak langsung Film tersebut telah menunjukkan gejala atau fenomena komodifikasi, standardisasi, dan masifikasi. Apa itu komodifikasi, standardisasi, dan masifikasi ? Berikut akan dibahas kemudian.
A.    Komodifikasi
1.      Pengertian
Komodifikasi menurut perbendaharaan kata dalam istilah marxist adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.
Dalam industri media banyak ditemukan contoh-contoh dari gejala komodifikasi. Sebuah konten media dibuat sedimikian rupa agar menarik pasar sehingga disebut komoditi pasar yang bisa dujual lalu disebarkan khalayak yang kemudian juga bisa berdamapk pada standardisasi dari barang komoditi tersebut. Dampak yang lebih luas adalah ketika gejala modifikasi dan standardisasi sudah mengalami masifikasi artinya komoditi tersebut sudah tersebar dan menjalar dalam gaya hidup masyarakat secara masif. Khalayak atau masyarakat dapat dengan mudah mencerminkan kehidupan pribadinya dengan apa yang ada dalam media.
2.      Analisis Komodifikasi Dalam Film Ada Apa Dengan Cinta ?
Ketika film Ada Apa Dengan Cinta ? meledak di Indonesia banyak hal yang berubah di gaya hidup anak muda ketika itu. Film tersebut mampu membawa budaya populer. Suatu budaya pupuler yang dipertentangkan secara diametris dengan pendekatan moralis yang secara spesifik merujuk pada budaya tinggi atau high culture. Budaya massa dalam apa yang ditemui melalui film tersebut adalah sebuah fenomena sosio-kultural yang senantiasa dicirikan dengan picisan dan perubahan pandangan bahwa percintaan, persahabatan, dan konflik remaja adalah merupakan hal yang menarik.
Hal-hal yang ada dalam film Ada Apa Dengan Cinta ? tersebut menjadi komoditi yang populer ketika itu bahkan sampai saat ini. Misalkan dari tokoh Cinta seorang gadis cantik berambut panjang, mamakai bandana, memakai rok SMA yang pendek, pandai membuat puisi dan syair, baju SMA yang ketat, serta pembawaannya feminim. Dari tokoh Rangga seorang pria cool, misterius, tampan, pandai membuat puisi dan syair, dan memiliki idealisme.  Dari kedua tokoh tersebut merepresentasikan remaja ‘seutuhnya’ saat itu.
Mungkin pada saat itu (awal 2000-an) di sekolah-sekolah banyak ditemui penampilan seperti apa yang dicontohkan oleh tokoh Rangga dan Cinta. Tetapi saat penampilan tersebut dibawa ke media film apalagi film tersebut sangat mencuri perhatian maka nilai yang dibawa akan menjadi tinggi. Dampak jika suatu nilai jika telah dibawa ke media massa akan luar biasa.
Dalam kehidupan nyata saat itu yang terjadi adalah komoditi yang memiliki nilai jual di bidang mode. Remaja putri khususnya berlomba untuk me-make over penampilannya untuk sama atau setidaknya mendekati penampilan tokoh Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta ?. Dunia mode benar-benar diuntungankan saat itu, remaja putri yang ingin mengikuti tren pergi ke salon untuk meluruskan rambut (rebonding) agar serupa dengan rambut panjang nan cantik dari tokoh Cinta. Tidak hanya itu bandana yang sebelum film tersebut booming tidak dilirik , seketika menjadi buruan remaja putri kala itu. Karena dalam penampilan di sekolahnya, tokoh Cinta memang kelihatan catchy ketika memakai bandana. Bahkan kipas plastik yang dibawa tokoh Cinta dalam beberapa adegan saja di film tersebut ikut diburu oleh remaja putri. Dan yang paling fundamental dampak perubahan dari film tersebut adalah mode berpakaian anak SMA. Sadar atau tidak memang mode berpakaian yang dicerminkan dari tokoh Cinta dan teman-temannya telah mendominasi pikiran remaja putri untuk mengatakan bahwa mode seperti itulah yang dikatakan cantik dan gaul. Walhasil pada saat itu banyak remaja putri SMA berpakaian ketat dan rok pendek. Hal itu mungkin bisa dibuktikan jika Anda melihat foto kakak wanita atau teman wanita Anda yang bersekolah pada tahun 1990-an . Lihat bagaimana cara dia berpakaian. Sangat mungkin ditemukan perbedaan jika kita bandingkan dengan melihat foto remaja putri SMA pada awal  2000-an.
Ada nilai ‘positif’ dari komoditi yang bisa diambil dalam film Ada Apa Dengan Cinta ? , yaitu munculnya gairah sastra indonesia di negeri ini. Hal itu disebabkan cerita dalam film tersebut banyak menceritakan tentang karya sastra. Dimana masih ada anak muda yang peduli bahkan produktif dalam dunia sastra. Apalagi hasil sastra tersebut dapat digubah menjadi sebuah lirik lagu. Pamor sastra saat itu meningkat dan menjadi  bergengsi.
Bukti nyata dari diperhatikannya dunia sastra kala itu adalah meledaknya buku berjudul ‘Aku’ yang ditulis oleh Khairil Anwar. Saat itu buku ‘Aku’ sulit untuk dicari karena banyak yang penasaran dan akhirnya membeli buku tersebut. Hal tersebut tidak terlepas dari buku tersebutlah yang menjadi ikon dari film  ini. Tokoh Rangga adalah pengagum dari karya-karya Khairil Anwar khususnya buku ‘Aku’ .  Puisi dalam karya sastra tersebut pun menjadi populer kala itu, bahkan hingga saat ini. Jika ada seseorang yang mengatakan, “Pecahkan saja gelasnya, Biar gaduh sampai mengaduh!” maka yang terlintas adalah film Ada Apa Dengan Cinta ? dan buku karya Khairil Anwar ini.
Pada titik yang tinggi sebuah media massa dapat dianggap sebagai budaya yang justru dapat mengubah budaya sebelumnya. Sesungguhnya kajian mengenai budaya massa memang tidak bisa lepas dari corongnya, yakni media. Terutama media elektronik, khususnya film dan televisi. Melalui tayangan film dan televisi ‘desklarasi’ pertunjukkan apapun dilayar kaca dapat menjadi sebuah wujud budaya. Kemudian kebudayaan itu diproduksi berdasarkan standardisasi dan masifikasi.
B.     Standardisasi
Alur cerita yang bagus, pengambilan angle camera yang baik, dan penokohan yang nyaris sempurna, serta sukses menjadi box office memang menjadikan film Ada Apa Dengan Cinta ? sebagai role model bagaimana film dengan genre percintaan remaja seharusnya dibuat. Namun, yang terjadi malah seakan berlebihan. Setelah kisah kesuksesan film Ada Apa Dengan Cinta ? film-film yang diproduksi di Indonesia dan juga sinetron-sinetron yang meramaikan layar televisi tidak jauh-jauh dengan tema-tema percintaan remaja yang secara garis besar sama dengan apa yang ditampilkan dalam film Ada Apa Dengan Cinta?
Para pemain industri film menggeneralisasikan selera pasar saat itu adalah remaja yang menyukai cerita cinta. Dunia hiburan baik film dan televisi saat itu cenderung miskin tema. Bisa ditebak akan seperti apa film-film dan tayangan televisi saat itu. Dari segi penokohan misalnya, akan banyak ditemui sebuah gank remaja putri di SMA yang memakai baju ketat, rok pendek, dan berambut panjang. Lebih dari itu penokohan setiap tokoh dalam film dan tayangan televisi hampir senada. Misalkan dalam satu gank remaja putri tadi terdiri dari tokoh utama adalah pemeran wanita yang paling cantik, ada juga pemeran wanita yang pembawaannya tomboy, ada pula pemeran wanita yang lemot, serta tidak ketinggalan disertai pemeran wanita yang tidak hanya cantik tetapi juga smart.
Satu lagi adegan yang fenomenal dalam film Ada Apa Dengan Cinta ? adalah adanya scene Cinta mengejar Rangga di Airport dan diakhiri dengan sebuah ciuman hangat antara Rangga dan Cinta. Adegan tersebut suka tidak suka menjadi hal yang diperbincangkan saat itu. Bahkan jika diadakan survey adegan film Indonesia yang paling diingat mungkin adegan ciuman Rangga dan Cinta akan menempati posisi paling atas. Namun dampak yang terjadi setelah adegan itu sontak membuat sineas film seperti diberikan lampu hijau jika menempatkan adegan ciuman dalam sebuah film. Selanjutnya banyak film remaja yang menggunakan adegan berciuman dalam salah satu scene filmnya. Entah motivasi apa untuk menempatkan adegan berciuman. Mungkin saja untuk menarik minat penonton. Dalam film Ada Apa Dengan Cinta ? memang harus diakui adegam ciuman tersebut tidak mengumbar nafsu melainkan rasa sayang dalam balutan romantisme. Namun tujuan untuk ‘menguatkan’ alur cerita dari adanya adegan tersebut pada film-film setelahnya seolah diumbar dan menjadi hal yang biasa. Nilai guna dari setiap adegan yang menguatkan alur cerita film dimodifikasi menjadi nilai tukar atau nilai jual demi lakunya sebuah film. Misalnya saja film Jelangkung, Buruan Cium Gue, dan Virgin menggunakan adegan tersebut entah apa motivasinya.
C.    Masifikasi
       Karya-karya film dan televisi yang lain pun saat itu lebih mengikuti arus untuk membuat setting cerita SMA. Dan sosok Diandra Sasro Wardoyo yang memerankan tokoh Cinta pun menjadi sosok bagaimana seorang bintang film atau televisi seharusnya berpenampilan. Seorang bintang film atau televisi akan dikatakan cantik dan layak menjadi bintang apabila penampilannya tidak berbeda jauh dengan sosok Cinta. Lebih luas lagi seperti yang sudah sedikit disinggung dalam bahasan komodifikasi, produk tokoh Cinta telah menjadi standardisasi sebagai alat kapitalisme. Remaja putri membeli produk agar kulitnya terlihat mulus dan badan yang proporsional seperti Cinta bahkan meluruskan rambut yang pada awalnya bergelombang agar mengikuti tren ‘Cinta-sentris’.
Apa pun reaksi yang menyusul tampilnya tokoh Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta ? tak dapat disangkal bahwa gerak kelahiran industri entertainment dengan ‘gaya remaja’ sebagai salah satu simbol utamanya telah secara masif merasuk ke dalam berbagai media hingga saat ini. Hal itu dapat dilihat dari apa yang kita dapatkan dalam layar kaca.
Jika dahulu kisah percintaan ditokohkan pada konflik orang dewasa maka setelah film tersebut dianggap bahwa anak SMA lah yang paling cocok dalam penokohan sebuah kisah percintaan dalam tayangan hiburan. Pada tahun 1990-an serial Si Doel Anak  Betawi di televisi, kisah percintaan yang tersaji adalah percintaan dewasa. Dimana tokoh Si Doel dan tokoh Sarah adalah orang yang sudah lulus kuliah (dewasa). Jauh sebelum itu pun film-film di Indonesia lebih didominasi percintaan dewasa. Namun semuanya berubah. Saat ini bahkan cerita semacam percintaan remaja telah masuk ke dalam dunia Sekolah Menengah Pertama. Semuanya demi mencari selera pasar dan kekuatan.  Itulah kekuatan dari media.
 Pada celah itulah kapitalisme seolah memperoleh akses lebar untuk mendiktekan dirinya. Sebagaimana insting dasar lain yang ada dalam diri manusia selalu merupakan celah ampuh untuk masuk menawarkan suatu produk, insting “asal pasar suka” pun seolah menjadi ideologi media massa saat ini. Di sisi lain, adalah sebuah realitas bahwa cerita cinta remaja dalam dirinya sendiri merupakan simbol dari pergaulan yang semakin luas. Jadi untuk sebuah industri kapitalis media massa, percintaan remaja merupakan pilihan yang secara ekonomis dapat menguntungkan dan rasional. Semua demi pasar.

D.    Penutup
Sekarang kita tahu bahwa dengan sederet prestasi yang diraih oleh film Ada Apa Dengan Cinta ? sebagai pelopor perfilman berkualitas di Indonesia  dan sebagai pembuka gerbang industri perfilman Indonesia yang lebih maju ternyata tetap memiliki hal-hal yang harus dikritisi. Karena media saat itu dan hingga saat ini tetap memiliki kekuatan yang luar biasa bisa mengubah cara pandang seseorang dalam menyikapi suatu hal. Bahkan bisa membuat orang kehilangan jati dirinya sendiri karena telah dirasuki oleh apa yang dia lihat lewat media massa. Jelas bahwa kehadiran teknologi media massa saat ini yang bisa hadir di ruang-ruang keluarga dan privat selain memudahkan kita dalam menggali apapun informasi seluas-luasnya, tetap saja tersimpan suatu permasalan yang bukan saja menyoal tentang ekonomis namun juga menyoal ideologi dan kesadaran diri.




Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar