Rabu, 23 Maret 2011

Studi Media - overview


              Sebuah baligho besar terpampang dengan gagah di sebuah jalan protokol Bandung. Sebuah baligho dengan gambar dan pesan yang menggelitik. Gambar yang lazim disebut dengan hantu pocong yang sedang duduk. Dan diatasnya bertuliskan, “Sebuah Film: Pocong Ngesot, Ketika Pocong Tidak Lagi Lompat. Saksikan di Bioskop Kesayangan Anda”. Sebuah realita yang mencotohkan bahwa industri media massa di Indonesia tergolong kebablasan.  Tidak hanya menyoal film, majalah dan tabloid pun mengeksploitasi sex, dan dunia gaib bebas dijual di perempatan jalan bersamaan dengan surat kabar, majalah, dan tabloid yang ber-genre normal. Bahkan ada juga yang menjual di dekat sekolah-sekolah. Kenyataan yang aneh, setidaknya jika merujuk pada apa yang terjadi di Amerika misalnya. Sebuah majalah sejenis di atas tidak dijual depan umum dan sejauh mungkin dihindarkan dari anak dibawah umur.
            Apa hanya mau ribut soal sex dan dunia gaib ? tidak. Karena jika membahas soal itu maka ujung-ujungnya adalah ketidaksamaan persepsi tentang seni. Media masa sekarang harus diakui berorientasi terhadap keuntungan. Dengan cara apapun, media massa sangat menomorsatukan nilai ekonomi. Jadilah apa yang terjadi saat ini. Bioskop Indonesia banyak diisi cerita yang tidak berkualitas, media cetak juga ada yang mengangkat tema hiburan semata tanpa mendidik, televisi pun diisi dengan sinetron yang isinya standar. Semuanya demi pasar dan uang.
            Gejala kapitalisme terlihat dalam realita diatas. Pemilik modal hanya mementingkan tools of business. Tanpa memperhatikan fungsi mereka sebagai institusi, sosial,politik, dan budaya. Hasilnya mereka berlomba membuat produk tanpa memperhatikan kualitas pesan apa yang akan dibawa untuk khalayak. Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada perusahaan kecil yang bergerak di media massa, tetapi juga perusahaan media massa raksasa di Indonesia pun mulai mempraktikannya. Berita yang tidak berimbang, setengah-setengah dalam mengungkapkan suatu hal, dan berita yang seolah-olah dibesar-besarkan yang malah kedepannya dapat memicu ketegangan dan konflik di masyarakat. Semuanya demi kepentingan pasar dan pemilik modal. Mereka pasti sadar bahwa apa yang mereka informasikan akan menciptakan hegemoni negatif di masyarakat, namun tidak bisa mengatasinya karena arus persaingan media yang semakin gencar.
            Dari hegemoni yang terbentuk tadi, sadar atau tidak sadar dapat menjadi suatu budaya massa. Karena di era informasi saat ini kebanyakan orang menganggap apa yang ada d media massa itu adalah sebuah cerminan hidup suatu kelompok massa secara massive. Bahkan ideologi dari suatu mdia massa bisa saja merasuki secara perkataan dan perbuatan sesorang yang heavy viewer misalnya. Karena sebenarnya media massa dapat mendominasi pemikiran dan gaya hidup seseorang atau sekelompok masyarakat. Seperti apa yang dibahas di pembahasan “dominasi” seharusnya media massa dapat mendominasi khalayak untuk membentuk perubahan sikap dan kognitif ke arah yang positif. Bukan malah sebaliknya, karena yang tercermin dari media massa saat ini adalah bad news is a realy good for news. Indonesia tidak  aman, Indonesia krisis pangan, Indonesia rawan konflik SARA, dsb. Hal-hal itulah yang mungkin ada dibenak kita, karena memang itu yang mendominasi pikiran kita sejauh bila melihat apa yang ada di media massa. Walaupun arah perbaikan sudah ada dengan banyak berita atau informasi yang membawa kabar baik yang menstimuli semangat seseorang untuk meraih prestasi dan contoh hidup yang lebih baik.
            Untuk itu media massa harus dikembalikan lagi fungsi sebagai penghibur, penginformasi, pendidik, dan segala hal yang positif dan berimbang. Tanpa mengurangi bahwa media massa dapat menjadi suatu industri yang besar dan potensial secara ekonomi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar