1. Dominasi
Secara harafiah, dominasi berarti pemaksaan kerangka pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah. Dengan kata lain, apabila ada usaha penanaman pandangan kepada seseorang, dan seseorang tersebut menerima pandangan tersebut, maka saat itu tengah terjadi dominasi dari pihak pemilik pandangan ke pihak yang menerima pandangan tersebut. Bagaimana konsep “dominasi” ini jika dikaitkan dalam dunia media?
Dalam buku Graeme Burton, “Yang Tersembunyi Di Balik Media”, Burton menyebutkan bahwa media memiliki kekuatan untuk membentuk pengetahuan kita (khalayak media) tentang dunia dan media mampu menjadi sumber utama dari berbagai ide dan opini. Burton juga menyebutkan efek-efek yang media dapat timbulkan, yaitu antara lain (2008:233-234) :
a. Perubahan sikap :
Media mampu mengubah cara pikir orang-orang terhadap dunia sehingga mereka mengubah sikap mereka terhadap orang lain dan terhadap suatu isu. Contohnya, media memberitakan bahwa saat ini polusi udara meningkat dan salah satu penyebab meningkatnya polusi adalah karena peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Akibatnya, kini mulai ada program “car-free-day” , dimana kendaraan bermotor tidak diperbolehkan untuk memasuki kawasan tertentu. Hal ini ditujukan untuk mengurangi tingkat polusi. Hal ini nyatanya efektif diberlakukan di Jakarta dengan berkurangnya polusi udara dimana car free day tersebut diberlakukan.
b. Perubahan kognitif :
Media mampu mengubah cara seseorang berpikir terhadap suatu hal dan menilai berbagai hal. Contohnya, media menyoroti gaya penulisan anak-anak muda yang kerap mengirim sms dengan menggunakan kombinasi huruf besar, huruf kecil, dan angka (contohnya : c3muN9uUdH eaa). Kemudian fenomena tersebut diberi nama “fenomena alay”, maka setiap kali ada orang yang menulis dengan gaya penulisan seperti itu, akan disebut alay. Padahal, mungkin, sebelumnya orang menganggap itu biasa saja dan bahkan tidak tahu sebutan “alay”. Namun, karena media mengangkat topik tersebut, khalayak menjadi tahu dan turut menilai hal tersebut alay, sesuai dengan apa yang media konstruksikan. Media Internet khusunya situs jejaring sosial sangat berperan dalam kasus diatas
c. Kepanikan Moral/Reaksi Kolektif
Media mampu memunculkan kecemasan terhadap suatu isu. Contohnya, ketika media menyiarkan berita tentang susu formula yang mengadung bakteri sakazaki, maka sebagian besar masyarakat mulai resah dan takut menggunakan susu formula, meskipun sebenarnya, tidak semua susu formula diduga mengandung bakteri ini. Hingga saat ini kasus tersebut asih menggantung dan belum ada penyelesaian yang pasti. Dan khalayak semakin cemas ketika pihak peneliti (IPB) belum juga mengumumkan susu merk apa saja yang tercemar.
d. Tanggapan emosional/Reaksi Personal
Media mampu memengaruhi orang-orang dengan membangkitkan reaksi emosional dari khalayak. Contohnya, media kerap kali menggambarkan wanita cantik sebagai wanita yang memiliki kulit putih, rambut panjang berkilau, tinggi dan kurus. Hal ini mengakibatkan sebagian besar wanita berpikir jika mereka tidak cantik, lantaran mereka tidak memiliki ciri-ciri wanita cantik yang digambarkan oleh sebagian besar media tersebut. Sebagian wanita yang merasa dirinya tidak cantik itu mulai takut dan minder dan mulai menggunakan berbagai produk kecantikan agar dirinya serupa dengan gambaran wanita cantik versi media. Hal tersebut tercontoh pada sinetron-sinetron yang ada di televisi.
e. Penetapan Agenda
Media mampu merekonstruksi pandangan kita terhadap isu mana yang penting dan isu mana yang tidak begitu penting. Hal ini dilakukan media dengan memberikan penekanan ataupun pengulangan terhadap suatu isu, sehingga khalayak berpikir isu tersebut penting. Sebagai contoh, ketika terjadi peristiwa kekerasan oleh Ahmadiyah. Media mulai meberitakan isu tersebut secara terus-menerus, dan bahkan menjadikan isu tersebut sebagai headline. Akibatnya, masyarakat mulai berpikir bahwa isu tersebut penting untuk diberi perhatian, dan untuk sementara melupakan isu Bank Century dan isu-isu lainnya. Dari dahulu hingga kini penetapan agenda oleh media massa masih terus berlangsung dan cukup efektif untuk mengalihkan isu.
f. Sosialisasi
Media mampu mensosialisasikan norma-norma atau perilaku-perilaku yang diterima dalam suatu lingkungan sosial. Contohnya, adanya iklan layanan masyarakat tentang pelarangan pembajakan dalam film-film yang ditayangkan di bioskop yang menyebabkan masyarakat tahu bahwa pembajakan dilarang di negara kita, dan ada peraturan yang membahas tentang ganjaran yang dapat diberikan pada pelaku-pelaku pembajakan.
g. Kontrol Sosial
Media mampu mengontrol audiens untuk mengemukakan argumen-argumen yang menyokong konsensus, hukum, dan tatanan, dengan menekan berbagai argumen dan materi yang mempertanyakan cara-cara masyarakat kita beroperasi. Contohnya, program “Suara Anda’ di Metro TV sebagai salah satu bentuk media melakukan kontrol sosial. Masyarakat bebas berpendapat mengenai berita yang mereka pilih.
h. Mendefinisikan Realitas
Media mampu mendefinisikan realitas sosial bagi khalayak. Ketika media mengatakan, baik secara eksplisit maupun secara implisit, bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang memiliki kulit yang putih, rambut yang panjang dan berkilau, tinggi, kurus, dan memiliki wajah tanpa noda, maka gambaran wanita cantik itu akan menjadi definisi wanita cantik sesungguhnya bagi khalayak.
i. Penyokongan terhadap Ideologi Dominan
Media memiliki efek menyokong cara dominan dalam memandang dunia, pandangan yang dominan tentang hubungan-hubungan kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat, dan pandangan dominan tentang bagaimana berbagai hal dijalankan. Ketika sebagian besar masyarakat menilai bahwa perilaku kekerasan Ahmadiyah salah, dan media turut memberitakan hal-hal yang seolah-olah membuat penilaian terhadap Ahmadiyah semakin negatif, maka khalayak akan semakin memandang perilaku Ahmadiyah itu negatif. Sesungguhnya, saat itu, media tengah menyokong pola pandang dominan dari sekelompok orang dan menanamkannya pada orang lain yang mungkin tidak memiliki pola pandang terhadap hal tersebut.
Dari efek-efek dan penjelasan yang diberikan di atas, dapat terlihat bagaimana pengaruh media sangat kuat, dan bahkan mampu mendominasi pola pikir dan perilaku masyarakat. Ketika media me-highlight suatu isu tertentu, maka masyarakat akan memandang isu tersebut penting. Demikianlah cara media mendominasi. Media menanamkan pola pikir tertentu, dengan cara memberikan penekanan dan pengulangan, maka disadari ataupun tidak, maka pola pikir ini akan diterima bahkan tertanam dalam khalayak.
Saat ini, di Indonesia, sebagian media dimiliki oleh pelaku-pelaku politik. Maka dari itu, ke-netral-an media mulai dipertanyakan. Apakah, pelaku politik, sekaligus pemilik media ini, mampu menghadirkan program yang tidak memihak pada suatu pihak tertentu ataupun mendukung pola pikir sang pemilik media tersebut.
Dari beberapa kasus belakangan, terlihat bahwa media berusaha mendominasi dan menanamkan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Sebagai contoh, pada saat pemilihan DPP Golkar, berita-berita di TV One lebih condong untuk menopang popularitas Abu Rizal Bakrie, sementara Metro TV menghadirkan berita yang dibumbui pandangan-pandangan Surya Paloh. Bahkan saat Abu Rizal Bakrie dinyatakan menang, Metro TV membuat program khusus yang berisi wawancara dengan Surya Paloh mengenai “pertarungannya” dengan Abu Rizal Bakrie. Dari peristiwa ini terlihat bahwa, media berusaha menanamkan pola pikir kepada masyarakat, atau dengan kata lain, berusaha mendominasi masyarakat.
Konsep dominasi media massa ini dinilai mampu menghadirkan hegemoni. Media dianggap sebagai alat yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kepada masyarakat dari suatu pihak tertentu, sehingga pada akhirnya masyarakat mengikuti pola pikir tersebut, bahkan melakukan suatu tindakan sebagai bentuk nyata dari pola pikir yang tertanam tersebut. Ini lah hegemoni.
Sebenarnya dari konsep pemikiran tentang dominasi oleh media massa seharusnya bisa ke arah positif jika fungsi-fungsi seperti untuk mendidik, menghibur, mempersuasi dan menginformasikan dilaksanakan dengan baik tanpa adanya intimidasi atau kepentingan. Ketika media massa masuk ke ranah industri maka yang berbicara adalah kepentingan ekonomi, dan ketika media massa juga masuk ke ranah politik maka yang berkuasa adalah kepentingan politik. Dan itulah yang terjadi saat ini di Indonesia. Mungkin apabila media massa menjadi industri besar adalah hal yang tidak masalah justru dapat menguntungkan untuk menyedot lapangan pekerjaan. Namun saat sudah diintimidasi politik kepentingan, maka fungsi media massa untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah menjadi mandul.
Sumber :
Burton, Graeme. 2008. Yang Tersembunyi di Balik Media. Yogyakarta : Jalasutra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar