Ketika membaca buku-buku rujukan yang mmebahas gaya kepemimpinan dan komunikasi politik ala SBY dari berbagai sumber, jika kita jeli dalam membacanya dan mengartikan tulisan-tulisan yang dituang oleh penulisnya dengan dua cara pandang, maka kita akan melihat pro dan kontra terhadap gaya komunikasi politik yang sering ditunjukkan oleh SBY. Dari sisi pro, menganggap bahwa SBY adalah pemimpin yang mempunyai gaya komunikasi politik yang sangat rapih, rinci, terencana, dan cermat dalam menanggapi, menyikapi, dan melakukan tindakan terhadap isu-isu nasional maupun internasional. Sebagian lagi, di pihak yang kontra, menganggap bahwa SBY sangat lamban dalam mengambil keputusan yang seharusnya dapat disikapi lebih cepat dan lebih baik. Mereka menganngap SBY terlalu high context saat memberikan statement tentang sesuatu hal, memutar-mutar, terlalu banyak menggunakan analogi, dan sebagainya.
Buku Referensi
- Buku 1
Judul Buku : Dari Soekarno Sampai SBY
Penulis : Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A.
Dalam buku ini sangat ditekankan pada gaya kepemimpinan dari setiap pemimpin dilihat dari cara berkomunikasinya. Menurut buku ini, kepemimpinan tercermin dari komunikasi politik dan pengaruh yang ditimbulkan pada audiens. Begitu pula komunikasi politik para presiden. Efektif atau tidaknya komunikasi mereka, langsung berdampak pada kemimpinan dan citra diri. Buku ini menguak komunikasi politik dan kepemimpinan enam Presiden Indonesia, tentunya SBY masuk dalam sub bahasan buku ini.
Dalam buku ini, SBY dinilai sebagai pribadi yang demokratis, ,menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu difensif jika dikritik. Ia ultra hati-hati dalam segala hal sehingga terkesan bimbang dan ragu. Konteks bahasa: antara tinggi dan rendah, tetapi kecenderungannya tinggi. Sebagai seorang perfectsionist, ia selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan vernal yang sempurna. Kata dan kalimat diucapkan jelas sekali, diperkuat intonasi dan suara yang mantap. Konsistensinya termasuk buruk, sering plintat-plintut, membingungkan public. Terkadang ia tampil dengan medium high context, terutama ketika ia belum siap dengan keputusannya. Rasa humor kurang, dan emosi cukup tinggi, bahkan bisa lepas dari kendali. Di mana pun ia memperlihatkan wajah yang serius;nyaris tidak pernah tertawa, maksimal hanya tersenyum.
Jelas, warna dominan dalam buku ini menilai SBY bukan seorang komunikasi yang ulung dan dapat ‘supel’ dengan berbagai macam suasana. Citra SBY dalam buku ini terlihat seorang pemimpin yang ragu-ragu dan cari aman dalam mengeluarkan statement strategis.
- Buku 2
Judul : Harus Bisa !; Seni Memimpin Ala SBY
Penulis : Dr. Dino Pati Djalal
SBY itu teliti, cermat, penuh pertimbangan yang matang, dan seorang presiden yang sangat berpengaruh bagi dunia internasional. Itulah sari pati yang muncul dari pemikiran sang penulis dalam menilai seorang komunikator dan pemimpin seperti SBY. Jika kita membaca buku ini, hal-hal positif akan langsung terlihat di permukaan.
Dalam hampir setiap gaya penulisannya dalam buku ini, Dino secara detil menerangkan kronologis proses pengambilan keputusan SBY di kajian-kajian strategis yang bersifat nasional. Serta ia juga menrangkan kontribusi SBY sebagi seorang penengah dalam dunia internasional.
Bagi pembaca buku ini, khususnya dari kalangan pro dengan SBY akan terbawa ke suasana yang elegan penuh kewibawaan dan pemikiran yang matang.
BAB III
PEMBAHASAN
III.a. Pola Komunikasi
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah sosok yang perfectionist. Contohnya saja ia selalu tampil dengan baju yang rapih an dandanan yang mempelihatkan kewibawaannya. Dalam setiap kesempatannya muncul di media, SBY terlihat begitu terencana ketika tampil untuk berpidato atau memberikan statement. Srbagai sosok perfectionist, SBY selalu berbicara hati-hati, Setiap kata yang diucapkan seolah diartikulasikan secara cermat.
Dari perspektif konteks komunikasi (Hall, 1976), SBY merupakan perpaduan antara Soeharto dan Habibie. Lebih tepat dikatakan in between kedua pemimpin sebelumnya. Gaya komunikasi SBY dikatakan low context karena menurut Juwono, SBY jarang menggunakan “bahasa bersayap”, bahasanya jelas. Tapi jika dicermati, terkadang SBY juga sering berbicara dengan konteks tinggi sehingga gaya komunikasi SBY merupakan campuran gaya komunikasi low context dan high context atau lebih tepatnya dikategorikan sebagai gaya komunikasi low high context. Dua faktor yang menjadi penyebab dua hal terswebut adalah
1. Kegemaran SBY menggunakan analogi dalam menggamabrakan suatu permasalahan kemudain publik disuruh menginterpretasikan sendiri apa makna anlogi tersbut.
2. Kebiasaan SBY tidak berbicara to the point, yang disampaikannya hanya dalam “hakikat permasalahan.”
Berikut contoh kebiasaan SBY menggunakan analogi ketika berkomunikasi :
Di penghujung tahun 2007 SBY tiba-tiba meminta semua pihak agar tidak mengganggu program kerjanya memberantas korupsi. Hal ini dirasakan tidak perlu disampaikan kepada publik sebab sejak awal pemerintahannya, menurut SBY, banyak pihak yang menghalang-halangi upaya pemerintah melawan korupsi. Secara spesifik ia tidak menyebutkan identitas pihak-pihak yang dimaksud. Tapi, SBY berjanji tidak akan terpengaruh. Kenapa?
“karena kelalaian kita, dulu banyak yang pesta. Pesta di hutan, pesta di bisnis dengan bisnis KKN,dan mengambil uang negara. Mereka lupa mencuci piringnya; piringnya kotor. Kita cuci bersama sama piringny sekarang ini. Tetapi jangan diganggu. Kita mencuci piring akibat kekotoran yang selama ini terjadi di negeri kita.”
Memberantas korupsi, dengan demikian, dianalogikan dengan pekerjaan mencuci piring, piring-piring kotor yang ditinggalkan oleh pihak-pihak yang mengadakan berbagai pesta di masa lampau. Tapi, apa yang dimaksud dengan kata-kata : “Kita cuci bersama-sama piringnya sekarang ini?” bukankah “ cuci bersama “ mengandung arti upaya penindakan itu dilakukan bersama-sama para koruptor? Ini merupakan bahasa yang membingungkan.
Sedangkan kebiasaan SBY yang tidak suka berbicara to the point digolongkan kedalam komunikasi dalam area antara konteks rendah dan konteks tinggi. Dalam berbagai kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang, tapi membiarkan publik menebak-nebak sendiri. Hal ini bisa jadi karena ia khawatir dijadikan “ sasaran tembak” publik jika ia memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Tetapi bisa juga karena ia belum siap dengan persoalan atau solusi persoalan yang sedang menjadi sorotan masyarakat. Selain itu, hal ini juga bisa mencerminkan salah satu sifat SBY yang undecided dan “mencari jalan aman”. Selain itu, ada kalanya SBY juga terjebak dalam permainan high context yaitu tidak berani berbicara secara terang kepada publik.
Komunikasi politik SBY sering mencerminkan karakternya yang undecided dan uncertain. Karena karakternya tersebut banyak yang kesal melihat perilaku SBY yang peragu ini. Karena sikap SBY yang maju mundur, SBY membuat seorang Adnan Buyung Nasution jengkel dan mengecam SBY dengan kata-kata yang keras. “ terus terang saya kecewa berat dengan Presiden SBY.....”.
SBY menggunakan pendekatan rekonsiliatif dalam komunikasi politiknya. Hal tersebut tercermin dari “imbalan” yang diberikan kepada menteri-menterinya yang diganti. Imbalan tersebut biasanya berupa pos duta besar, misalnya seperti liburan panjang tanggungan negara yang biasa dilakukan Soeharto. Komunikasi politik SBY yang terkesan ragu dan takut tampaknya juga disebabkan oleh hubungan SBY dengan jusuf Kalla. Semua orang heran mengapa SBY takiut pada JK, padahal dalam pemilu SBY memperoleh suara yang tinggi. Hal tersebiut berarti SBY memiliki legitimasi yang tinggi. Tetapi tidak banyak yang mengetahui bahwa SBY dan Jk sudah terikat oleh gentleman agreement sebelum memangku jabatan presiden dan wakil presiden RI. Hanya mereka yang mengetahui apa substansi perjanjian yang dimaksud. Apakah sekedar pembagian kewenangan atau masih ada hal-hal strategis di luar itu.
Yang jelas masyarakat memiliki kesan bahwa JK sering kecewa dengan SBY. Berapa kali hubunganm kedua pemimpin ini dikabarkan retak. Misalnya, JK pernah tidak menghadiri sidang kabinet. JK juga pernah tidak ahdir dalam rombongan penjemput presiden di Bandar Udara Halim Perdana Kusumah setelah kunjungan kenegaraan presiden di Malaysia.
III. b Sikap Terhadap Kritik
Susilo Bambang Yudhoyono, oleh Prof. Muladi, digambarkan sebagai pemimpin yang sangat peka terhadap keritik. “Jika dikritik, SBY selalu reaktif; tidak bisa diam. Tangkisannya terhadap kritik bahkan sering kali over, berlebihan. Tidak jarang, untuk meng-counter kritik atas dirinya dan kepemimpinannya, ia selalu khusus menggelar jumpa pers di Istana, “ ucap Muladi.
Dari empat presiden pasca-orde Baru, SBY memang kepala negara yang paling sering menggelar konferensi pers. Dalam konferensi pers itu, kecuali menjelaskan satu permasalahan, SBY juga sering memanfaatkan forum tersebut untuk membalas kritik pers atau kritik yang datang dari pihak lain. Sikap Presiden Yudhoyono terhadap kritik sesungguhnya tidak menentu, dan tidak jauh berbeda dari Soeharto. Baik Soeharto maupun SBY ada kalanya menunjukan apresiasi terhadap kritik; bahkan mengundang pers untuk mengawasi dan mengkritik pemerintahnnya.
Pada awal pemerintahannya, SBY berusaha membuktikan sikapnya yang apresiatif terhadap kritik. Hubungan antara Presiden Yudhoyono dan pers boleh dikatakan berlangsung baik. Pada awalnya, Presiden pun tidak banyak beraksi, apalagi secara negatif, terhadap kritik-kritik pers. Pers nasional mulai menunjukan sikapnya yang kritis terhadap pemerintahaan SBY menjelang setahun usia Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Ketika itu banyak media yang meminta sejumlah pakar atau pengamat politik untuk memberikan penilaian terhadap pemerintahan SBY. Pandangan pengamat, juga survei pendapat, nyaris seragam semua: kinerja pemerintah SBY memprihatinkan.
Telinga SBY rupanya makin panas setelah ia mendapat “serangan” yang makin gencar dari berbagai pihak. Sebetulnya pers hanya mengangkat suara-suara publikj ke permukaan. SBY sendiri sejak awal menunjukan perilaku yang membingungkan. Proses penyempurrnaan kabinet berlangsung berbulan-bulan. SBY kadang malah memberi sinyal bahwa belum tentu ia akan melakukan reshuffle. Mengetahui hubungan antara presiden dan wartawan, SBY menganalogikanya sebagai hubungan antara hate and love (benci dan cinta). Terkait dengan kritik pers yang dialamatkan kepada pemerintah, presiden percaya bahwa hal itu masih dilandasi niat baik pers, agar keputusan yang diambil pemerintah benar dan agar presiden memimpin dengan benar. Presiden dalam kesempatan itu mengaku dirinya tidak mempersoalkan diangkatnya hal-hal yang belum baik dan sejumlah kegagalan yang memang benar. Namun, hal itu “tidak boleh dikatakan bahwa saya tidak boleh dikatakan bahwa saya tidak boleh dikeritik. Boleh dikeritik, tetapi beri penjelasan dengan tujuan yang baik.”
Bila dilihat dari beberapa contoh pernyataan SBY, dapat disimpulkan bahwa SBY sebenarnya juga alergi terhadap kritik. Bahkan ia kadang sangat reaktif jika mendapat serangan atau kecaman dari mana pun datangnya termasuk pers, apalagi yang datang dari para mantan pemimpin bangsa. Reaksinya sering berlebihan dan terus-menerus. Ia mudah terpancing oleh kritik. Kritik yang keras mungkin dipersepsikan sebagai salah satu upaya untuk menjatuhkan kedudukanya. Maka,ia pun memandang perlu untuk membalasnya. Benar apa yang dikatakan oleh Prof. Muladi bahwa SBY adalah pemimpin yang sangat peka terhadap kritik.
III.c. Kondisi Emosional Saat Diterpa Pesan Komunikasi
Presiden Yudhoyono marah mendengar kampanye Hariman. Ketika menyampaikan sambutan pada acara pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Birawa, Kompleks Bidakara ((jakarta) pada 3 Mei 2007, Presiden secara keras mengecam gagasan “cabut mandat”. “Gerakan yang disebut cabut mandat di tengah jalan, lalu diganti oleh sekelompok orang yang menyatakan diri sebagai anggota presidium untuk mengambil-alih kepemimpinan bukan tindak konstitusional!” tandas SBY (Investor Daily, 4-5-2007, hlm. 2). Aksi mencabut mandat, lanjut Presiden, bertentangan dengan konstitusi dan tidak tergolong sebagai demokrasi yang bertentangan dengan konstitusi dan tidak tergolong sebagai demokrasi yang beretika. Ia memperingatkan lawan-lawan politik untuk menghentikan aksi tersebut.
Secara umum, kata Juwono Sudarsono, SBY tidak suka marah. Ia bahkan tergolong cool, terkesan mampu mengendalikan emosinya. Dalam banyak kesempatan, SBY selalu memperlihatkan wajah yang serius, jarang senyum; apalagi tertawa. Hal ini, menurut Juwono, disebabkan SBY menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan1001 permasalahan bangsa. Semuanya pelik, tapi semuanya harus secepatnya diatasi. Wajah yang tegang itu mungkin juga dimaksudkan untuk mengendalikan wibawa kabinet dan eslon-eslonnya. Artinya, SBY ingin sekali seluruh bawahanya betul-betul memecahkan secara efektif segala problema yang dihadapi rakyat. Meski selalu menunjukan wajah serius dan jarang sekali menebar senyum, menurut Juwono, SBY juga memiliki sense of humor. Hanya saja, berbeda dari Gus Dur, ia tidak suka “mengobral” rasa humor tersebut. Sekali-sekali ia melemparkan joke-joke juga untuk mencairkan suasana.
SBY menurut Juwono, tidak suka kalau suaranya tidak didengarkan. Suatu hari, ia sedang berpidato pada acara resmi . seorang Jendral berbintang dua yang duduk di seberang SBY asik bicara sendiri. Melihat tingkah-laku sang jenderal, SBY tiba-tiba menghentikan pidatinya dan langsung menegur perwira tinggi tersebut. Marah SBY, kata Juwono yang hadir dalam acara yang berlangsung di Istana itu. “Orang tidak sopan kalao saya , atau orang lain sedang bicara, ada side talker yang bicara sendiri!” begitu kira-kira SBY nyeletuk. Setelah itu, ia meminta orang itu keluar, alias diusir. “Insiden” yang mengejutkan di dalam istana itu juga disaksikan oleh Prof. Muladi. Selaku Gubernur Lemhannas, Muladi duduk persis di sebelah Presiden Yudhoyono. Dan cerita Muladi tidak jauh berbeda dari cerita yang dituturkan oleh Juwono. “Dia pidato, langsung mukanya merah. Marah dia!”. Itulah salah satu prilaku SBY jika marah. Langsung ditumpahkan kepada sasaran yang menjadi objek amarahnya. Wajahnya pun kelihatan sekali; wajah kesal dan kadang merah. Inilah tipikal kepemimpinan jawa yang sangat santun “Kepemimpinan Jawanya kental sekali,” tambah Juwono.
Dana kasus dana nonbudgeter DKP, satu pelajaran berharga bisa ditarik oleh semua pihak: walaupun tontonan mengenai “Dana DKP” dihentikan mendadak oleh pihak berwajib, kasus itu menunjukkan bahwa SBY sesungguhnya tidak serius memerangi korupsi. Tema antikorupsi yang dicanangkannya keras-keras selama kampanya pada pemilihan presiden 2004 tidak lebih retorika politik.
BAB IV
CONTOH, ANALISIS, DAN DISKUSI KASUS
Dalam Bab ini kita akan menelusuri dan mengamati tingkah polah presiden SBY dalam mengambil sikap terhadap sebuah kasus. Apakah benar tanggapan sebagian rakyat Indonesia yang beraguen jika SBY selalu bersikap formal dan mencermati segala permasalahan secara serius . Hal tersebut kemudian dapat menimbulkan pertanyaan baru, jika itu memang benar, apakah SBY selalu menyisipakan aturan kedisiplinan dan tradisi militer dalam setiap pekerjaannya sebagai lembaga tinggi negara ini. Pola Komunikasi SBY yang terkesan formal tersebut apakah juga diterapkan jika ia bertemu dengan pemimpin negara-negara dunia. Seni memimpin ala SBY memberikan diferensiasi dan warna dalam pola kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya di republik ini. Suatu hal yang sangat menarik untuk dipelajari. Berikut adalah contoh dan analisis kasus yang menonjolkan sikap dan langkah komunikasi politik yang pernah dan atau sedang ia jalani.
1. Memimpin dalam krisis
· Merespon masalah secara real time
Dalam masa krisis dimana situasi bergulir dengan cepat, satu elemen yang sangat penting adalah respon yang real time. Real time disini berarti tepat waktu dan tidak tertinggal oleh roda-roda perkembangan kejadian. Seorang pemimpin bisa membuat respon yang tepat, namun respon tersebut bisa tidak efektif jika tidak dilakukan secara real time.
Keterlambatan dalam merespon yang biasanya datang dari sikap mengulur-ngulur waktu dapat berakibat fatal dalam situasi kritis. Karenanya, seorang pemimpin yang menjadi crisis leader harus selalu dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, serta sepadan dengan tuntutan policy response terhadap krisis tersebut.
Untuk contoh kasus reaksi pemerintah terhadap di sanderanya dua wartawan Metro TV ; Budianto dan Meutia Hafid pada tanggal 19 Februari 2005 di Irak, SBY termasuk cekatan dalam mengambil keputusan. Pada malam itu (sekitar pukul 01.00 WIB dinihari) SBY diberitahukan oleh pembantunya, Dino Pati Djalal, perihal masalah genting ini. SBY kemudian merespon dengan langsung mengadakan pidato kepresidenan langsung dari Istana Merdeka yang juga dihadiri beberapa menteri pada pukul 02.00 WIB di hari yang sama. Pidato tersebut direkam langsung oleh crew Al Jazzera, yang kemudian diberikan kepada para penyandra. Dampaknya, tidak lama setelah pidato yang intinya meminta para penyandra untuk menyerahkan Budianto dan Meutia Hafid berhasil. Dan Mereka berdua langsung disambut oleh SBY setibanya di tanah air.
· Pemimpin harus Berani Mengambil Risiko
Sejarah Indonesia penuh dengan contoh keputusan berani. Keputusan Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 adalah keputusan yang strategis yang sangat berani dan tepat.
Dari semua keputusan Presiden SBY, ada dua keputusan besar yang sangat berani. Pertama, keputusan SBY untuk memulai kembali perundingan dengan GAM di awal 2005. Keputusan ini mengandung berbagai risiko: risiko ditolak GAM, risiko perundingan gagal lagi, risiko ditentang aktor-aktor politik dalam negeri—tapi SBY maju terus dan akhirnya berhasil.
Keputusan kedua adalah tindakan SBY menurunkan subsidi dan menaikkan harga BBM. Apapun yang terjadi dalam kurun waktu 2004-2009, paling tidak dua keputusan besar ini sudah menjadi sejarah capaian Presiden SBY.
Perubahan memang sulit dilakukan karena rakyat Indonesia sudah terlalu lama dimanjakan dengan minyak murah. Dalam era Presiden Soeharto dulu, terutama sewaktu OPEC Berjaya di era 70-an, produksi minyak kita berlimpah ruah, sempat mencapai 1,7 juta barrel per hari, dan sebagian besar diekspor karena kebutuhan domestik waktu itu relatif kecil. Akibatnya, pemerintah kebanjiran petrodollar, APBN tumbuh subur, dan rakyat berlimpah minyak murah yang disubsidi dengan lapang dada oleh Pemerintah.
Situasi tersebut mulai berubah di tahun 2004, dan setelahnya. Harga minyak terus naik, dari kisaran USD 21 per barel mencapai USD 40 per barel di akhir tahun 2004, dan terus meningkat ke USD 60 per barel pada awal tahun 2005.
Sementara itu, produksi minyak Indonesia menurun menjadi 1,18 juta barel per hari, sedangkan konsumsi dalam negeri melonjak drastis karena semakin banyak orang yang memiliki mobil dan motor.
Situasi ini yang dihadapi Presiden SBY awal tahun 2005 karenanya sangat berbeda dengan situasi yang dihadapi Pemerintah sebelumnya. Di masa Presiden Megawati, harga minyak stabil sekitar USD 20-an dolar, dan memasuki tahun 2004 masih dibawah USD 30. Tahun 2004, semasa kampanye pemilu, harga minyak naik terus, mendekati USD 40 di akhir tahun.
Pada saat yang bersamaan, nilai tukar rupiah semakin melemah, sementara impor minyak kita pun tidak berkurang.
SBY karenanya mempunyai 2 opsi. Opsi pertama: tetap memberikan subsidi BBM seperti tahun 2004—business as usual—apapun dampaknya bagi ekonomi nasional. Opsi kedua: mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM.
Setelah memperhiitungkan berbagai kemungkinan, SBY memutuskan untuk mengambil opsi kedua: menaikkan harga BBM. Menurut SBY, mengurangi subsidi BBM adalah kebijakan ekonomi yang perlu dan rasional, namun juga secara moral lebih bertanggung jawab karena lebih pro-rakyat miskin.
Pada tanggal 1 Maret 2005, Pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 29% dari harga semula.
Untuk mengurangi beban rakyat akibat pengurangan subsidi BBm tersebut, Pemerintah menyiapkan Program Dana KOmpensasi Sosial, antara lain berupa penyediaan beras murah, sekolah gratis dari tingkat SD sampai SMA hingga pelayanan kesehatan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin.
Pendek kata, keputusan SBY mengurangi subsidi BBM adalah keputusan yang berani, bukan saja untuk ukuran Indonesia, namun juga untuk ukuran internasional. SBY menaikkan harga BBm bukan sekali, tapi dua kali.
· Do the Right Thing
Pada tanggal 15 Agustus 2007, Indonesia dikejutkan dengan suatu berita yang keji. Raisya, seorang gadis berumur 5 tahun, diculik oleh sekelompok orang ketika dalam perjalanan pulang bersama pengasuhnya dari TK Islam Al Ikhlas. Penculik Raisya meminta tebusan sebanyak Rp 1 miliar.
Presiden SBY dan ibu Ani tidak habis membayangkan apa yang terjadi pada anak yang malang itu. Dalam konteks yang lebih luas, Presiden juga mengkhawatirkan trend penculikan yang semakin merebak.
Malam hari, setelah menelepon orangtua Raisya, Presiden SBY didampingi Ibu Meuthia Hatta membuat doorstop statement di Istana Negara mengenai Raisya. SBY memohon agar para penculik segera mengembalikan Raisya ke pangkuan orangtuanya dalam keadaan selamat.
Kemudian polisi berhasil meringkus penculik dan membebaskan Raisya di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Setelah 9 hari diculik, Raisya akhirnya ditemukan.
· Mengubah Krisis Menjadi Peluang [2]
Di akhir bulan Januari 2008, beberapa minggu setelah konferensi UNFCCC di Bali berakhir, dunia digoncang oleh krisis ganda: melonjaknya harga pangan dan minyak sedunia.
Di awal tahun 2008, harga minyak m,ulai menembus USD 100 per barel. Sepanjang Februari, Maret dan April, harga minyak terus bertengger diatas USD 100.
Pada saat yang bersamaan, harga pangan juga mencuat drastis. Sampai akhir Januari, secara global kenaikan harga bahan pangan pokok mencapai 35%.
Apapun penyebabnya, yang jelas kini timbul situasi krisis internasional yang serius. Krisis pangan ini merembet ke berbagai lapisan masyarkat di udnia berkembang.
Di Jakarta, SBY terus memonitor situasi yang mencemaskan ini. SBY juga yakin bahwa ini bukan gejala yang temporer, dan akan menghantui dunia untuk jangka menengah dan panjang, dengan segala konsekuensi politik, keamanan, ekonomi, dan sosialnya.
Pada tanggal 27 Maret 2008, Presiden SBY menulis surat kepada Sekjen PBB Ban KI-moon. Dalam surat itu, Presiden SBY mendorong Sekjen PBB untuk menyelanggarakan konferensi pada tahun itu juga untuk mencari solusi global terhadap krisis energi dan pangan.
Presiden SBY tidak berhenti dengan Sekjen PBB. Seminggu kemudian, beliau menyurati Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, dan menyatakan dukungannya terhadap gagasan ‘new deal for global food policy’ yang baru dilontarkan Zoellinck. Presiden SBY juga menghimbau Zoellick untuk tidak membuang waktu dalam mengambil inisiatif-inisiatif untuk mewujudkan visinya ke arah kondisi pangan global yang lebih baik.
Dalam semua korespondensi ini, Presiden SBY selalu menekankan bahwa Indonesia, berbeda dengan dunia lainnya, pada saat ini tidak mengalami krisis pangan. Produksi beras Indonesia mencukupi, bahkan surplus.
2. Memimpin dalam Perubahan
· Pemimpin Harus Bisa Melakukan Transformasi Diri
Sejak dilantik menjadi Presiden bulan Oktober tahun 2004, terdapat 4 transformasi diri yang dilakukan SBY.
Pertama, SBY mentransformasi dirinya menjadi seorang ekonom. Beberapa saat sebelum dilantik menjadi Presiden, SBY meraih gelar Doktor dari IPB setelah menulis disertasi panjang mengenai ekonomi pertanian, yang diuji oleh Indonesianis terkenal Prof. Anne Booth dari School of Oriental and African Studies, London.
Kedua, segera setelah dilantik, Presiden SBY segera mengalami transformasi menjadi ‘crisis leader’. Dalam menghadapi tsunami, SBY menghadapi suatu bencana yang belum pernah dihadapinya sepanjang karir SBY di militer maupun di pentas politik dan bencana malam itu juga tidak pernah dihadapi oleh presiden-presiden sebelumnya.
Transformasi ketiga: semenjak menjadi presiden, SBY berusaha sekali mendudukkan dirinya diatas kepentingan golongan—‘above politics’. Sebagai Presiden, SBY harus selalu mengedepankan kepentingan nasional dan SBY tidak bisa terperangkap dalam politik partisan.
Keempat, adalah transformasi SBY dari Presiden menjadi negarawan internasional. Hal ini awalnya terjadi ketika Presiden SBY mulai menggalang dukungan internasional untuk bencana tsunami, terutama dengan diadakannya KTT Tsunami awal Januari 2005 di Jakarta.
Pendek kata, SBY telah memaksa diri dan dipaksa situasi, untuk terus menerus menggali kemampuan baru, sekaligus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya.
· Pemimpin Harus Rasional
Ketika SBY memerintah, ada yang meminta SBY terbang ke daerah tertentu selama sekian jam untuk bertemu orang pintar. Ada yang meminta SBY melakukan ritual-ritual tertentu dengan dukun-dukun terkenal untuk mencegah meluapnya lumpur Sidoarjo atau agar rentetan bencana alam berhenti. Ada yang meminta SBY keliling mengunjungi beberapa makam keramat demi kesuksesan pemerintahan Presiden SBY. Atau harus menerima berbagai benda-benda pusaka untuk mempertahankan kekuasaan.
SBY biasanya akan mendengar semua ini dengan santun, namun beliau selalu menolak dengan bijak nasehat, anjuran dan permintaan yang tidak rasional.
· Taat Sistem dan Peraturan
Semua menteri SBY tahu hal ini: SBY selalu mengedepankan sistem. Beliau sadar sekali bahwa kesalahan yang paling fatal di masa lalu adalah penguasa lebih berkuasa dari system.
Konsistensi dan ketaatan SBY pada system terlihat jelas dalam menangani pemilihan Dirut Pertamina dan PLN—dua BUMN yang sangat strategis dan ‘basah’.
Berita mengenai pergantian Dirut Pertamina Widya Purnama mulai beredar sekitar Maret 2006. Waktu itu, Komisis VII DPR mendesak agar Presiden SBY segera mencopot Direktur Utama Widya Purnama, berkaitan dengan sengketa eksplorasi minyak dan gas Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur, dengan pihak Exxon Mobil.
Lain lagi dengan proses penetapan dirut baru PLN. Muncul desas-desus mengenai penetapan susunan direksi PLN yang diwarnai politisasi sehingga prosesnya menjadi berlarut-larut.
Dalam menghadapi segala tekanan dan berbagai kepentingan yang simpang siur ini, SBY tidak gamang, dan tetap berpegang teguh pada aturan dan tatanan yang berlaku. Dalam menetapkan Dirut Pertamina dan PLN itu, semua tahapan dijalankan sesuai prosedur.
Untuk memilih pimpinan BUMN, SBY memberlakukan system yang ketat dan akuntabel. Pertama-tama Meneg BUMN akan menyaring nama-nama yang kredibel untuk dilakukan ‘fit and proper test’.
Pada akhirnya, nama Dirut PLN dan Dirut Pertamina yang akhirnya diputuskan oleh rapat Tim Penilai Akhir (TPA) benar-benar mencerminkan figure yang dianggap tepat, kompeten dan memiliki integritas tinggi.
· Pemimpin Harus Mencari Solusi Masalah
Semua orang bisa pintar berteori, jago berpidato, mahir berkomunikasi, lihai berdebat dan pandai mencari popularitas. Nmaun, tidak semua orang bisa menyelesaikan konflik, merancang kebijakan, mencari solusi, menangani masalah-masalah nasional yang sangat kompleks.
Pemimpin yang baik—apakah dia Presiden, Menteri, atau Dirjen—adalah pemimpin yang policy capable, yang handal menangani kebijakan pemerintah.
Sejak awal, Presiden SBY berupaya untuk menjadi apa yang dalam dunia manajemen dilukiskan sebagai problem solver atau trouble shooter.
3. SBY Dalam Memimpin Tim dan Membuat Keputusan
· Cara SBY Dalam Mencermati Budaya Koorporat
Pada musim semi tahun 2005, Presiden SBY mengunjungi Raymond, Washington State, untuk bertemu dengan pendiri dan Presiden Microsoft, Bill Gates, sekaligus melihat markas Microsoft yang termasyur di seluruh dunia sebagai pusat inovasi teknologi computer.
Gates adalah fenomena individu seukses yang tiada duanya. Ia sudah terobsesi dnegan computer jauh sebelum orang awam tau computer itu apa. Bill Gates kini adalah orang terkaya di Amerika dan di dunia: dengan asset sekitar USD 59 miliar. Bantuan Bill and Melinda Gates Foundation untuk kesehatan dunia sejak didirikan sampai dengan akhir 2007 adalah sebesar USD 9.4 miliar.
SBY sendiri merasa antusias dengan pertemuan ini, namun diam-diam para pembantu Presiden, agak deg-degan. Bill Gates dikabarkan merupakan adalah sosok yang sangat cuek, dan tidak terlalu peduli apakah lawan bicaranya presiden atau perdana menteri, karena memang sukses dirinya tidak tergantung pada siapapun kecuali pada kreatifitas dan inovasi Microsoft itu sendiri. Konon, Bill Gates pernah begitu saja meninggalkan presiden Bill Clinton di lapangan golf, karena merasa jenuh. Kalau presidennya sendiri dibegitukan, bagaimana dengan presiden SBY yang tidak punya nuklir.
Bill Gates menerapkan pola kerja kesederhanaan dalam setiap kegiatan bisnisnya. Pada saat Gates bertemu dengan SBY, tidak tampak ‘barang bawaan’ yang mencirikan bahwa ia adalah orang terkaya di dunia. Ia juga memandang setiap individu bukan dari jabatan yang diembannya, keturunan darimana dia berasal, tetapi Gates memandang dari integritas kinerja dari sesorang itu. Bagaimana setiap orang mengemban komitmen yang fasih tentang apa yang harus diperbuat dalam memecahkan masalah dalam struktur organisasi dan bagaimana cara yang paling cermat untuk melakukannya dengan langkah-langkah yang strategis.
Budaya itulah yang ingin dikembangkan oleh SBY dalam pemerintahannya. SBY mengharapkan adanya integritas yang real pada setiap pejabat negara. Itulah real needs mendasar yang ingin diciptakan dalam budaya koorporat Republik Indonesia. Untuk mewujudkannya, SBY selalu mengatakan bahwa ‘’Perubahan yang paling penting adalah perubahan pola piker (mindset)’’. Sejak menjabat sebagai Presiden , SBY tahu benar bahwa kunci sukses setiap cabinet tergantung pada kemampuan untuk membina budaya kerja yang berbeda di Istana. Dalam prosesnya, sebelum SBY membentuk kabinet, ia meminta setiap calon menteri untuk menandatangani ‘kontrak politik’. Selain itu SBY juga mengubah pola kerja cabinet menjadi lebih sistematis dengan adanya time line sebagai penunjang pembuatan keputusan yang cepat dan cermat.
· Ketelitian Ala SBY
Ketelitian SBY terhadap detil sangat kelihatan dalam proses penulisan pidato. Sebagai ‘speech-writer’ Presiden, tidak ada yang lebih melegakkan daripada seorang pemimpin yang mempunyai ownership penuh terhadap kata yang ke luar dari mulutnya. SBY juga selalu ingin melibatkan diri dalam substansi dan materi komunikasi pada saat ia akan melakukan pidato politik. Isi pidato ia baca dengan sangat teliti. Bahkan tanda baca pada teks pidato sangat diperhatikan olehnya sehingga jika ada yang tidak relevan maka ia langsung mengkoreksinya, pun demikian dengan penyajian data yang tidak valid maka akan langsung dicoret.
SBY memandang detil sebagai bagian penting dari penguasaan substansi. Dalam mempelajari suatu masalah, seseorang harus memahami intisari permasalahan, namun ia juga harus menguasai detil-detil dari masalah itu. Dengan mengetahui detil, maka akan semakin memahami nuansa permasalahan dan bagaimana strategi pemecahannya.
4. SBY Dalam Lingkungan Komunikasi Global
Dalam konfrensi pers saat kunjungan G.W. Bush ke Istana Bogor, November 2006, seorang wartawan internasional menananyakan Presiden SBY tentang pandangannya mengenai konflik Irak. Mendengar pernyataan itu, saya melihat delegasi dan diplomat AS mulai gelisah dengan cemas di kursi mereka, takut SBY mengucapkan sesuatu yang akan membuat Presiden Bush tersinggung atau dipermalukan.
Presiden SBY kemudian menjawab dengan tenang dan lugas. Untuk menyelesaikan konflik Irak, harus ada tiga langkah strategis. Pertama, di Irak harus ada rekonsiliasi politik, antara tiga kelompok besar; Suni, Shiah dan Kurdi. Selama ketiga kelompok ini masih baku hantam, maka Irak akan selamanya berdarah. Kedua, pasukan AS kelak harus ditarik mundur dari Irak, dan diganti dengan pasukan internasional, yang sebagian besar berasal dari Negara-negara berpenduduk muslim. Ketiga, agar Irak tidak ambruk setelah Amerika pergi, harus ada bantuan masyarakat internasional yang berkesinambungan untuk rekonstruksi Irak. Konsep ini kemudian dikenal sebagi ‘triple track solution’.
Di sini ada pelajaran yang bisa dipetik dari komunikasi politik ala SBY; Dengan percaya diri menyampaikan pandangan kritisnya di depan Presiden Bush yang dikenal sensitive terhadap isu Irak, namun ia juga menyampaikannya dalam cara memalukan tamu Negara
· Cara SBY Dalam Menanggapi Isu Global
Tahun 2007 juga bisa disebut sebgai tahun perubahan iklim. Isu lingkungan menjadi nomor satu ketika itu. Pemanasan global seakan menjadi momok yang paling menakutkan bagi keseimbangan ekosistem alam secara global. Beruntung bagi Indonesia, karena pada saat itu dapat menjadi tuan rumah dalam Konfrensi Perubahan Iklim Internasional yang diadakan di Bali pada tanggal 15 Desember 2007.
Pada kesmpatan itu SBY berpiidato dengan sangat mencengangkan hadirin yang berasal dari seluruh perwakilan Negara di dunia. Tanggapannya begitu hangat, diikuti oleh tepuk tangan yang bergemuruh sesaat setelah selesainya pidato, serta pikiran yang sepertinya se iya se kata dengan isi dan konsep yang ia cetuskan dari pidatonya. Berikut adalah petikan pidato dari SBY;
……Ultimately, there are things that will make or break this conference. The first spirit of cooperation, a resolve to get things done, a spirit of globalism. All of you who have been here in Bali know and feel the spirit. The second things that we need is our thing that we need is our strong commitment to make this breakthourgh. Again, I know that all of you have this commitment to make difference. We just have to find common ground for it. And the best way for us to reach that common ground is by nurturing a feeling of trust and confidence in wahat is bound to be a very difficult and painful negotiating process. And the third is flexibility. A spirit of give and take, and a willingness to compromise, without losing sight of the grand scheme that we are trying.
I know if we put all these things together-spirit of cooperation, commitment, fleksibility, we will make the last mile. The world is waiting anxiously. The world is watching. I beg you: DO NOT let them down.
Let us complete our work here.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar