Membangun Istana di Dalam Penjara
Cerita dari inspeksi mendadak yang dilakukan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, pada Minggu 10 Januari 2010 malam ke Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta Timur membuat saya dan mungkin sebagian besar masyarakat Tanah Air malu dan tersenyum miris melihat fakta tersebut.
Foto-foto kamar mewah yang ditempati Ayin, terpidana kasus suap Rp 6 miliar terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan itu, terpampang mencolok mata. Pemandangan yang serupa juga bisa dilihat pada kamar Aling, terpidana kasus narkoba yang divonis seumur hidup. Tak pelak, berbagai reaksi pun bermunculan, sampai-sampai Presiden SBY ikut-ikutan mengecam agar hal tersebut tak terulang lagi. Jelas, lagi-lagi sebuah pukulan tinju upper cut melayang ke wajah hukum Indonesia yang sudah kadung rusak dan babak-belur
Kemudian pertanyaan yang menjurus ke arah persesengkolan tingkat tinggi pun muncul di tengah opini masyarakat tak terkecuali saya. Bagaimana mungkin Ayin bisa menempati ruangan seluas 8x8 meter yang dilengkapi kasur busa, AC, televisi plasma, lemari es, peralatan fitnes, meja kerja, serta kamar mandi pribadi lengkap dengan kloset duduk dan pancuran air hangat – sementara hanya berjarak beberapa meter dari situ berjejalan ratusan narapidana lainnya yang menempati ruang tahanan sederhana berjeruji besi? Apakah begitu diskriminatif sikap lembaga permasyarakatan sampai-sampai tega melakukannya hanya demi ‘kebesaran nama’ dari beberapa napi ekslusif-nya? Perlakuan manusiawi berarti tidak ada penyiksaan di dalam lapas, mendapat cukup makanan, pengobatan, dan kesehatan. Tetapi, yang terjadi dalam kasus Ayin sudah diskriminasi, dalam arti pengistimewaan terhadap sekelompok kecil. Sedangkan terpidana yang miskin justru tidak mendapat kebutuhan dasar seperti yang diterima oleh Ayin.
Lalu, Siapa yang berperan agar ‘program’ tersebut terlaksana?
Aneh dan sungguh ironis, hukum bersikap berat sebelah justru di tempat seharusnya hukum ditegakkan. Menurut analisis saya dengan merujuk pada beberapa pendapat pengamat, kasus ini sudah berjalan lama, tetapi tidak diekspos saja, Artinya ini adalah sebuah fenomena gunung es yang baru terlihat puncaknya dan ini adalah kesalahan yang sistemik dilakukan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Saya tidak percaya jika Menteri Hukum dan HAM tidak mengetahui hal ini. Apalagi beberapa waktu lalu beliau sempat mengunjungi Rutan Pondok Bambu tersebut, namun tidak terungkap hal yang memalukan ini.
Adanya sel bak kamar putri raja dalam istana tersebut memperkuat dugaan banyak kalangan tentang maraknya praktik suap di dalam penjara. Praktik mafia korupsi di lembaga pemasyarakatan memang persoalan lama yang tidak pernah disentuh. Temuan ICW menunjukkan, praktik korupsi di penjara berupa pemberian fasilitas khusus kepada narapidana, penggunaan jasa keamanan oleh narapidana, banyaknya penyimpangan dalam pemberian izin keluar dari lembaga pemasyarakatan, serta pungutan bagi tamu atau pengunjung, dan adanya pemeran pengganti untuk menjalani hukuman di penjara.
Terkuaknya kemungkinan adanya praktik suap di penjara ini harus menjadi momentum bagi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menindak tegas oknum yang terlibat dalam pemberian fasilitas mewah tersebut, sekaligus melakukan reformasi kinerja petugas penjara. Terutama agar masalah serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Mudah-mudahan Departemen Hukum dan Asasi Manusia juga dapat melihat sampai ke semua lini. Karena tidak mungkin, Sarju Wibowo, Kepala Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta Timur berjalan sendiran dalam melancarkan ‘program’ terebut.
Tindakan memberantas perlakuan berbeda atas narapidana itu tak bisa hanya dengan mengganti Kepala LP. Tindakan yang mesti dilakukan untuk kasus ini harus lebih besar dan cepat. Satgas antimafia peradilan atau hukum harus gesit dalam membongkar para pihak yang merusak sistem penegakan hukum di negara kita. Harus sampai ke akar-akarnya.
Saya khawatir para pelanggar hukum yang mempunyai jabatan dan berduit, tidak takut lagi jika divonis penjara. Toh, rasanya sama saja seperti menginap di hotel atau apartemen.Vonis penjara pun lambat laun hanya menjadi ajang formalitas. Sungguh mengerikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar